Tampilkan postingan dengan label jual beli hak atas tanah menurut adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jual beli hak atas tanah menurut adat. Tampilkan semua postingan

Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat



Menurut hukum adat jual beli hak atas tanah bukan merupakan perjanjin dimana yang dimaksudkan dalam pasal 1457 KUHP perdata , melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya,pada saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukannya jual beli tersebut maka hak milik atas tanah itu beralih kepada pembeli.Menurut hukum pembeli telah menjadi pemilik baru. Harga tanah yang di bayar bisa dianggap telah di bayar penuh.
Jual beli hak atas tanah menurut Hukum Adat bersifat apa yang di sebut “contoh” atau “tunai”. Pembayaran harga dan penyerahan haknya di lakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai.Sisa harganya yang menurut kenyataannya belum dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik segera setelah jual beli tanah tersebut di lakukan. Perjanjian utang piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan jual beli hak atas tanah.berarti bahwa jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual beli.Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.
Dalam Hukum Adat “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang di setujui bersama di bayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Biasanya jual beli tanah itu dilakukan Kepala Adat(Desa),tetapi dalam kedudukannya sebagai kepala adat(Desa) menanggung, bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.Dengan dilakukannya dimuka kepala Adat jual beli itu menjadi “terang” bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tersebut tidak sah.
Di keputusan lain mahkamah agung berpendapat bahwa : peranan kepala desa atau kepala adat pembuatan perjanjian yang menyangkut tanah menyatakan : “suatu putusan rapat Desa(rapat selapanan) tentang pengalihan tanah yang diadakan sebelum berlakunya UUPA dinyatakan tetap berlaku”.(Putusan Mahkamah Agung nomor 187/K/Sip/1975,tanggal 17 maret 1976).
Umumnya dari jual beli hak atas tanah dibutuhkan suatu AKTA, berupa pernyataan dari pihak yang menjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli.(istilah menurut hukum adat :di jual lepas)
Menurut hukum adat untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya apa yang disebut “panjer”.Panjer dapat berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik tanahnya.Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum Agraria atau Hukum Tanah,melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum perutangan.Jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada hukum adat maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian itu adalah hukum adat. Jika pihak-pihak yang besangkutan tunduk pada Hukum Barat maka yang berlaku adalah Hukum perjanjian yang terdapat dalam KUHP perdata. Tetapi perjanjian itu bukan perjanjian jual beli yang dimaksudkan dalam pasal 1457. Jika pihak pemilik dan calon pembeli tunduk pada hukum yang berlainan,maka hukum antara golonganlah yang akan menunjukkan hukum manakah yang berlaku.